Gagasan kebaya jadi busana sehari-hari tengah didorong berbagai pihak di sederet momen, termasuk perayaan perdana Hari Kebaya Nasional (HKN) yang jatuh kemarin, Rabu, 24 Juli 2024. Salah satunya datang dari fashion stylist, sekaligus perancang busana Hagai Pakan.
Soal padu-padan kebaya, menurut Hagai, ada satu kuncinya: nyaman. “Ragam kebaya itu banyak sekali, dan bisa dipilih sesuai gaya dan karakter masing-masing. Tidak perlu memaksakan pakai kebaya yang lagi tren,” katanya saat jumpa pers film pendek garapan Bakti Budaya Djarum Foundation, Kebaya Kala Kini, di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta Pusat, Selasa, 23 Juli 2024.
Ia menyambung bahwa kebaya adalah busana serbaguna yang bisa menghasilkan banyak look. Namun, Hagai menggaribawahi, saat kebaya dipadankan dengan wastra tertentu, pastikan tidak ada pakem yang dilanggar. “Tapi selebihnya bisa banget di-styling, entah lebih kasual atau edgy,” sebutnya.
Dalam kesempatan itu, ia mencontohkan beberapa tampilan karyanya. Salah satunya dipakai Putri Marino, yang berperan sebagai salah satu muse film pendek garapan Bramsky tersebut. Putri tampil memakai kebaya panjang berpadu patchwork jeans dan sneaker putih.
Sementara muse lain, Syandria Kameron tampil dengan gaya dari “Sabang sampai Marauke,” kata Hagai. “(Syandia pakai) koleksi kebaya vintage, ditambah korset, luarnya pakai kebaya gaya minang dari (desainer) Mama Ghea. berpadu kain Timor,” bebernya, seraya menambahkan gaya ini dilengkapi boots hitam, supaya tampilannya lebih edgy.
Padu-padan Kebaya dalam Gaya Sehari-hari
Tidak ketinggalan, ada Woro Mustiko yang didandani dengan tampilan klasik yang selaras dengan citranya. “Kebayanya encim, kainnya kain ikat, tapi ada selendang ala-ala. Ini pas menurut aku, karena aku tahu, Woro bakal datang sanggulan (tatanan rambutnya),” ia mengungkap.
Padanan busana menarik pun diperlihatkan Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation Renitasari Adrian. Ia terlihat memakai kebaya janggan yang tengah beken dilapisi kebaya encim panjang di bawahnya, lalu makakai batik kudus sebagai bawahan, serta dilengkapi ankle boots putih.
Hagai mengatakan bahwa sekarang, kebaya telah kembali ke tubuh perempuan Indonesia. “Aku rasa, makin banyak perempuan yang sadar berkebaya,” ujarnya. “Tidak hanya saat menghadiri acara, tapi juga untuk sehari-hari. Pun ke acara yang dresscode-nya bukan tradisional, mereka selalu bisa memilih kebaya.”
Maka itu, ia menilai kebaya masa kini sebagai fashion item yang cukup digemari, dan diharapkan ada di sesi baju sehari-hari di lemari pakaian, bukan kostum acara formal saja. Inisiasi ini didukung dengan menggeliatnya industri fesyen lokal.
Kian Bertambahnya Variasi Kebaya
Hagai berkata, “Sekarang banyak desainer-desainer dan sejumlah brand lokal yang membuat banyak variasi kebaya, sehingga pilihannya terus bertambah. Favorit lah kebaya sekarang.”
Di Kebaya Kala Kini, Hagai mengatakan bahwa ia berupaya memperlihatkan kebaya dalam spektrum yang luas. Tidak hanya soal ragam jenis kebaya dari berbagai wilayah di Nusantara, tapi memastikan busana ini bisa dipakai perempuan dengan warna kulit apapun dan dalam bermacam bentuk tubuh.
“Memang belum semua jenis kebaya diperlihatkan di sini, tapi setidaknya direpresentasi (kebaya-kebaya) yang populer, seperti kutubaru dan encim,” sebut dia.
Kebaya-kebaya di film pendek ini merupakan arsip karya sejumlah desainer, seperti SAPTO DJOJOKARTIKO, Ghea Resort, Lulu Lutfi Labibi, dan Sejauh Mata Memandang, serta kebaya-kebaya vintage yang dijual di pasar. “Salah satunya ada kebaya dari tahun 60-an dan kebaya lamaran ibu saya dari tahun 80-an,” ujarnya.
Putri secara personal mengaku suka kebaya encim. “Koleksi (kebaya encim) lumayan banyak di rumah,” sebut ibu anak satu ini. “Kebaya kutubaru aku suka. Kebaya modern juga aku suka.”
Kebaya Lintas Batas
Syandria berbagi bahwa ia suka kebaya kutubaru bergaya Bali, kampung halamannya, lengkap dengan selendang. “Kalau di Bali bilangnya senteng (selendang),” ia menambahkan.
Woro menyambung, “Dari dulu, akrabnya dengan (kebaya) kutubaru dan kartini, jadi otomatis suka. Tapi akhir-akhir ini jadi suka kebaya janggan juga. Jadi saat mendalang, saya pakai (kebaya) janggan, tapi yang panjang, karena harus duduk bersila.”
Menurut Renita, pihaknya mempersepsikan kebaya sebagai busana perempuan Indonesia yang menyatukan seluruh strata sosial. “Juga, lintas batas wilayah di Indonesia dengan berbagai variasi kebaya dari daerah masing-masing. Artinya, kebaya bisa dipakai di mana saja oleh siapa saja.”
“Harapan kami utamanya, dengan satu langkah kecil yang kami lakukan, mudah-mudahan bisa mendorong ekosistem ekonomi dari kebaya, baik untuk desainer, pembordir, penjahit, pembuat kebaya, dan penjual kebaya,” bebernya.