Mahkamah Agung (MA) baru saja menerbitkan putusan No.1206 K/PDT/2024 terkait gugatan citizen lawsuit praktik pinjaman online yang diajukan oleh para penggugat sejak tahun 2021. Putusan tersebut meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai salah satu tergugat untuk membuat peraturan dan memperkuat pengawasan untuk menjamin pelindungan hukum bagi seluruh pengguna aplikasi pinjaman online dan masyarakat.
Merespons putusan itu, Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi, Aman Santosa mengatakan komitmennya menjalankan perintah MA untuk memperkuat industri Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) atau fintech Peer to Peer lending (P2P lending). Selain itu, OJK juga memperkuat pelindungan konsumen dan masyarakat dengan mengeluarkan berbagai ketentuan dan roadmap LPBBTI 2023-2028.
”Ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengawasan, mendorong industri agar dapat berkembang secara sehat, berintegritas dan kontributif, serta memperkuat pelindungan konsumen,” ujarnya di Jakarta, Kamis (25/7/2024).
Sementara pada pengaturan fintech P2P, OJK menyatakan telah menerbitkan aturan mengenai fintech P2P lending. Yakni Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 19/SEOJK.06/2023 tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi.
Kedua beleid itu, OJK mengatur beberapa hal. Antara lain analisis pendanaan/proses uji kelayakan pengajuan pinjaman dengan memperhatikan kemampuan keuangan yang dimiliki oleh penerima dana. Kemudian, penyelenggara wajib memenuhi ketentuan batas maksimum manfaat ekonomi pendanaan dalam memfasilitasi pendanaan.
Kemudian, terdapat ketentuan pembatasan akses data berupa camera, microphone, dan lokasi, muatan isi minimum perjanjian dalam rangka transparansi dan pelindungan hak-hak Pengguna. Pengenaan sanksi administratif terhadap penyelenggara fintech P2P lending yang melanggar ketentuan aspek kepatuhan terhadap POJK tersebut.
OJK pun telah melakukan serangkaian langkah. Antara lain mengingatkan dan meminta penyelenggara fintech P2P lending dan Asosiasi fintech P2P lending untuk melakukan langkah-langkah dan mitigasi risiko yang diperlukan agar produk atau layanan keuangan fintech P2P lending tidak digunakan sebagai sarana kejahatan ekonomi.
Seperti judi online, pencucian uang, pendanaan terorisme, pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal, maupun tindak kejahatan ekonomi lainnya. Kemudian, OJK meminta penyelenggara fintech P2P lending dan Asosiasi fintech P2P lending untuk memuat pernyataan peringatan kepada konsumen dengan menggunakan huruf kapital yang dapat menarik perhatian pembaca pada laman utama yang langsung dapat terlihat pada halaman website maupun aplikasi.
Kini, OJK sedang menyusun peraturan tentang industri fintech P2P lending atau Rancangan POJK. Hal ini dilakukan sebagai penyempurnaan atas regulasi sebelumnya yang berisi antara lain penguatan kelembagaan, manajemen risiko, tata kelola dan pelindungan konsumen, serta penguatan dukungan terhadap sektor produktif dan UMKM.
Terkait pelindungan konsumen dan masyarakat, OJK menerbitkan POJK No. 22 tahun 2023 tentang Pelindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan.Beleid itu mengatur beberapa hal. Seperti kewajiban menjaga kerahasiaan dan keamanan data dan/atau informasi konsumen.
Kemudian larangan membuat dan menggunakan perjanjian baku yang memuat klausul eksonerasi/eksemsi, sanksi atas penyebaran data pribadi, kewajiban PUJK memastikan penagihan kredit atau pembiayaan kepada konsumen dilaksanakan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Di sisi lain, dalam mengoptimalkan pemberantasan pinjaman online ilegal, OJK bersama dengan 15 Kementerian dan Lembaga yang tergabung dalam Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal atau Satgas PASTI.
”OJK mengimbau masyarakat untuk selalu berhati-hati, waspada, dan tidak menggunakan pinjaman online ilegal karena berpotensi merugikan masyarakat, termasuk risiko penyalahgunaan data pribadi peminjam,” pungkas Aman.